Sejarah pencak silat Al-Hikmah
ALHIKMAH, SENI BELADIRI WARISAN PARA WALI
Ilmu Al-Hikmah pada hakikatnya merupakan keilmuan warisan Rasulullah SAW kepada Sayyidina Ali RA dan juga para Sahabat yang kemudian disebarluaskan oleh para Wali Allah di belahan bumi ini, termasuk Walisongo dan Syech Abdurrauf As Singkly di Aceh.
Sebelum bernama “Al-Hikmah” , seni beladiri Islam ini dipelajari oleh Abah KH.M. Thoha (seorang Polisi zaman Belanda) yang juga merupakan sesepuh Perguruan Sin Lam Ba. Kemudian dari Abah Toha dipelajari oleh KH. M. Syaki Abdul Syukur sebagai seorang santri dan jawara Banten.
Ilmu Beladiri Alhikmah yang lebih dikenal dengan “Seni Jaga Diri Alhikmah” ini berkembang pesat dan diperkenalkan oleh Abah KH. M.Syaki Abdul Syukur bin Sartawi setelah sebelumnya melengkapi keilmuannya dengan belajar Tauhid kepada Abah KH. M.Amilin bin H. Sarbini (Mama Amilin Abdul Jabbar), Guru Spiritual Bung Karno, Proklamator Kemerdekaan RI, pencetus nama “burung Garuda” pada Lambang Negara Republik Indonesia tersebut.
Perguruan Alhikmah berpusat di Pondok Pesantren Hikmatul Iman, Cisoka, Tangerang Banten.
1. KH. M. Toha Bin Si’in
Konon semenjak kecil Pak Toha bercita -cita ingin memiliki ilmu yang sekarang disebut Al-Hikmah. PakToha belajar di pesantren di daerah Banten selama 7 tahun tapi cuma mendapat Ilmu Qiro ’at, Fiqih dan silat Cipecut.
Setelah 7 tahun Pak Toha berpikir, biaya sudah habis namun ilmu yang di cita – citakan belum juga di dapat. Akhirnya Pak Toha pulang dari pesantren kerumahnya yang berada di Jakarta. Ditengah perjalanan di atas kereta api, yang insya Allah jumlah dari gerbong kereta api tersebut adalah sebanyak 6 gerbong. Beliau duduk melamun memikirkan biaya telah habis, namun ilmu yang di cita – citakan belum di dapat. Disaat sedang melamun, tiba – tiba datanglah 3 orang berpakaian jawara menyapa Pak Toha. Sambil duduk salah seorang dari mereka berkata,” Ada ilmu yang dibaca dua kalimat Syahadat, tapi bila ditunjuk ke orang yang berniat jahat maka orang tersebut langsung terpental”.
Pak Toha kaget lalu bertanya, ” Ilmu apa yang tadi diceritakan dan berada dimana ?”
Kemudian salah seorang dari ke 3 orang tersebut mengambil bungkusan rokok yang isinya tinggal 1 batang. Lalu bungkus itu dipakai untuk menuliskan alamat keberadaan ilmu tersebut. Selagi Pak Toha membaca alamat tersebut ke 3 orang itu tiba – tiba sudah menghilang, dicari di 6 gerbong ke 3 orang tersebut tidak ditemukan.
Sangat disayangkan bahwa kita tidak diberitahukan alamat atau nama kampung yang tertera ditulisan pada bungkus rokok itu. Setelah menempuh perjalanan, akhirnya Pak Toha pun sampai di rumahnya. Setiba dirumah disambut oleh Bapaknya dengan pertanyaan, ” Gimana Toha, apakah yang kamu cita – citakan sudah berhasil ?”
Pak Toha menjawab, ” belum berhasil Pak, sewaktu dalam perjalanan pulang ada 3 orang di kereta api yang memberi saya alamat, namun biaya telah habis ”.
Pada waktu itu bapaknya Pak Toha mempunyai seekor kuda dan delman, maka dijualah kuda dan delman tersebut seharga Rp. 40,- ( empat puluh rupiah ). Dengan tujuan untuk dipakai biaya Pak Toha mencari Ilmu.
Hingga bapaknya Pak Toha beralih profesi menjadi tukang daun dan tali. Berangkatlah Pak Toha dari rumahnya di Jakarta, naik di halte satu dan turun di halte yang lainnya. Tetapi setiap ditanya berhenti di halte yang mana ? Pak Toha selalu menjawab, ” diam kamu !”.
Setelah turun di halte yang terakhir, Pak Toha berjalan kaki melewati sawah yang luas, pada saat itu sedang panen. Sampai ditengah persawahan tibalah saatnya waktu maghrib, akhirnya Pak Toha pun membabat jerami untuk digunakan sebagai ampar.
Setelah subuh Pak Toha melanjutkan lagi perjalanan menuju alamat pesantren yang tertera di bungkus rokok itu. Menjelang maghrib Pak Toha baru sampai di pesantren yang dituju. Pak Toha mengucapkan salam dan dijawab oleh Kyai pesantren tersebut dengan Wa Alaikum salam. Kyai tersebut lalu bertanya, ” mau kemana kamu Toha ?”. Pak Toha kaget dan tertegun ( karena Kyai itu tahu namanya ) sambil menjawab,” saya hanya
Lanjutan ceritanya mana bang?
ReplyDelete